Pengerahan Romusa dan Perang Melawan Tirani Jepang

Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Mereka dipekerjakan di lingkungan pembangunan kubu-kubu pertahanan, jalan raya, lapangan udara. Pada awalnya, tenaga kerja dikerahkan di Pulau Jawa yang padat penduduknya, kemudian di kota-kota dibentuk barisan romusa sebagai sarana propaganda. Panitia pengerahan tersebut disebut Romukyokai, yang ada di setiap daerah.

Pada awalnya, rakyat Indonesia melakukan tugas romusa secara sukarela, sehingga Jepang tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh tenaga. Sebab, rakyat sangat tertarik dengan propaganda tentara Jepang sehingga rakyat rela membantu untuk bekerja apa saja tanpa digaji. Romusa sukarela terdiri atas para pegawai yang bekerja (tidak digaji) selama satu minggu di suatu tempat yang penting.

Lama-kelamaan karena kebutuhan yang terus meningkat di seluruh kawasan Asia Tenggara, pengerahan tenaga yang bersifat sukarela ini oleh pemerintah Jepang diubah menjadi sebuah keharusan dan paksaan. Pada periode itu sudah sekitar 300.000 tenaga romusa dikirim ke luar Jawa, bahkan sampai ke luar negeri seperti ke Birma, Muangthai, Vietnam, Serawak, dan Malaya.

Rakyat Indonesia yang menjadi romusa itu diperlakukan dengan tidak senonoh, tanpa mengenal peri kemanusiaan. Kesehatan mereka tidak terurus. Tidak jarang di antara mereka jatuh sakit bahkan mati kelaparan.

Perang Melawan Jepang
Jepang yang mula-mula disambut dengan senang hati, kemudian berubah menjadi kebencian sehingga timbul berbagai perlawanan.

Perlawanan di Aceh
Salah satu perlawanan terhadap Jepang di Aceh adalah perlawananan rakyat yang terjadi di Cot Plieng yang dipimpin oleh Abdul Jalil. Perlawanan ini disebabkan karena melihat kekejaman dan kesewenangan pemerintah pendudukan Jepang, terutama terhadap romusa.

Jepang berusaha membujuk Abdul Jalil untuk berdamai. Namun, Abdul Jalil bergeming dengan ajakan damai itu. Karena Abdul Jalil menolak jalan damai, pada tanggal 10 November 1942, Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerang Cot Plieng.

Serangan Jepang untuk yang ketiga kalinya berhasil menghancurkan pertahanan rakyat Cot Plieng, setelah Jepang membakar masjid, namun  Abdul Jalil dan beberapa pengikutnya berhasil meloloskan diri ke Buloh Blang Ara. Saat Abdul Jalil dan pengikutnya sedang menjalankan sholat, mereka ditembaki oleh tentara Jepang sehingga Abdul Jalil gugur sebagai pahlawan bangsa dalam pertempuran ini,

Perlawanan di Singaparna
Rakyat Singaparna sangat benci terhadap pendudukan Jepang karena kebijakan-kebijakan Jepang yang diterapkan tidak sesuai dengan ajaran Islam ajaran yang banyak dianut oleh masyarakat Singaparna. Pengerahan tenaga romusa dengan paksa dan di bawah ancaman ternyata sangat mengganggu ketenteraman rakyat.

Secara khusus rakyat Singaparna di bawah Kiai Zainal Mustafa menentang keras untuk melakukan seikeirei. Seikerei adalah Memberi penghormatan kepada kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah matahari terbit. Itulah sebabnya rakyat Singaparna mengangkat senjata melawan Jepang.

Perlawanan meletus pada bulan Februari, 1944, sebelum perang ada beberapa utusan dari kepolisian Tasikmalaya dan beberapa orang Indonesia yang ingin mengadakan perundingan dengan Zainal Mustafa. Namun, polisi Jepang itu dilucuti senjatanya dan ditahan oleh pengikut Zainal Mustafa.

Setelah kejadian ini, Jepang mengirimkan pasukan ke Sukamanah, yang terdiri dari 30 orang kempetai dan 60. orang polisi negara istimewa (tokubetsu keisatsu) dari Tasikmalaya dan Garut. Karena jumlah pasukan yang lebih besar dan peralatan senjata yang lebih lengkap, tentara Jepang berhasil mengalahkan pasukan Zainal Mustafa.

Kiai Zainal Mustafa ditangkap Jepang bersama gurunya Kiai Emar. Selanjutnya Kiai Zainal Mustafa bersama 27 orang pengikutnya diangkut ke Jakarta. Pada tanggal 25 Oktober 1944, mereka dihukum mati. Sementara Kiai Emar disiksa oleh polisi Jepang dan akhirnya meninggal.

Perlawanan di Indramayu
Para petani dan rakyat Indramayu pada umumnya hidup sangat sengsara. Jepang telah bertindak semena-mena terhadap para petani Indramayu. Mereka harus menyerahkan sebagian besar hasil padinya kepada Jepang.

Perlawanan rakyat Indramayu antara lain terjadi di Desa Kaplongan, Distrik Karangampel pada bulan April 1944. Kemudian pada bulan Juli, muncul pula perlawanan rakyat di Desa Cidempet, Kecamatan Lohbener.

Rakyat Kalimantan Angkat Senjata
Salah satu perlawanan di Kalimantan adalah perlawanan yang dipimpin oleh Pang Suma, seorang pemimpin Suku Dayak. Pang Suma dan pengikutnya melancarkan perlawanan terhadap Jepang dengan taktik perang gerilya.

Adanya mata-mata membuat perlawanan para pejuang Indonesia dapat dikalahkan oleh penjajah. Para mata-mata itu juga tidak segan-segan menangkap rakyat, melakukan penganiayaan, dan pembunuhan.

Perlawanan Rakyat Irian
Gerakan perlawanan yang terkenal di Papua adalah “Gerakan Koreri” yang berpusat di Biak dengan pemimpinnya bernama L. Rumkorem. Mereka melakukan taktik perang gerilya. Tampaknya, Jepang cukup kewalahan menghadapi keberanian dan taktik gerilya orang-orang Irian. 

Akhirnya, Jepang tidak mampu bertahan menghadapi para pejuang Irian tersebut. Jepang akhirnya meninggalkan Biak. Oleh karena itu, dapat dikatakan Pulau Biak ini merupakan daerah bebas dan merdeka yang pertama di Indonesia.

Dari Biak perlawanan kemudian ke Yapen Selatan yang dipimpin Silas Papare. Setelah berjuang bergerilya dalam waktu yang sangat lama, rakyat Yape Selatan mendapatkan bantuan senjata dari Sekutu, bantuan senjata itu membantu rakyat Yape Selatan untuk mengalahkan Jepang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana keuletan rakyat Irian dalam menghadapi kekejaman pendudukan Jepang.

Peta di Blitar Angkat Senjata
Perlawanan terhadap Jepang di Blitar dipimpin oleh Supriyadi seorang Shodanco Peta. Sebagai komandan Peta, Supriyadi cukup memahami bagaimana penderitaan rakyatnya. Supriyadi dengan teman-temannya melancarkan serangan terhadap pihak Jepang. Pada tanggal 29 Februari 1945 dini hari.
orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia da Pengerahan Romusa dan Perang Melawan Tirani Jepang
Untuk menghadapi perlawanan Peta di bawah pimpinan Supriyadi, Jepang mengerahkan semua pasukannya. Melihat semangat, tekad, dan keuletan pasukan Supriyadi dan Muradi tersebut, maka Jepang mulai menggunakan tipu muslihat. Komandan pasukan Jepang Kolonel Katagiri pura-pura menyerah kepada pasukan Muradi.

Kolonel Katagiri berhasil mengadakan persetujuan dengan mereka. Para pemuda Peta yang melancarkan serangan bersedia kembali ke daidan beserta senjata-senjatanya. Pada suatu hari kira-kira pukul delapan malam Shodanco Muradi tiba bersama pasukannya kembali ke daidan.

Mereka tidak menyadari bahwa telah masuk perangkap, karena dari tempat-tempat yang gelap pasukan Jepang telah mengepung mereka. Mereka kemudian dilucuti senjatanya dan ditawan, diangkut ke Markas Kempetai Blitar

Meskipun perlawanan PETA di Blitar itu gagal, namun pengaruhnya sangat besar terhadap perjuangan kemerdekaan selanjutnya. Para pejuang yang ditangkap diadili di Jakarta. Ada yang dihukum mati, ada yang dihukum seumur hidup.

Previous
Next Post »