Sabmpul Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer (2003) |
Dongeng adalah wujud karya sastra lisan. Dengan sifat kelisanannya, dongeng memiliki beberapa versi namun memiliki garis besar cerita yang sama. Salah satu dongeng atau cerita rakyat nusantara adalah cerita Calon Arang.
Dalam dongeng yang menceritakan tentang perempuan penyihir (tukang teluh) yang sakti mandraguna ini ada tiga tokoh utama yaitu Sri Baginda Raja Erlangga, Nyi Calon Arang, dan Empu Baradah. Dalam cerita Calon Arang, Raja Erlangga diceritakan sebagai raja yang mencintai rakyatnya, bijaksana, dan tidak haus kekuasaan. Empu Baradah adalah seorang pendeta yang sangat mumpuni pengetahuan agamanya, sangat bagus pula sifat sosialnya serta sangat mencintai keluarganya.
Sementara Nyi Calon Arang adalah pemuja Dewi Durga, Dewi Kegelapan. Nyi Calon Arang marah kepada semua orang karena hingga usia 25 tahun tak ada satupun orang yang malamar putrinya. Maka, Nyi Calon Arang memuja Dewi Durga dan meminta izin untuk meneluh semua orang. Bahkan diceritakan, sampai tidak ada yang sempat menguburkan orang yang mati karena tak lama setelah ada saudara yang mati, yang melayat juga akan mati.
Di akhir cerita, Empu Baradahlah yang bisa mengalahkan Calon Arang. Setelah mengutus Empu Bahula (Murid Senior Empu Baradah) untuk mengawini Putri Calon Arang yang bernama Ratna Manggali. Setelah menikah, Empu Bahula dapat mengetahui titik kelemahan Calon Arang. Dibawalah kitab andalan Calon Arang kepada Empu Baradah, dipelajari, dan akhirnya Calon Arang dapat dibunuh namun dihidupkan kembali untuk disucikan. Setelah menjadi orang suci, maka Calon Arang dibunuh lagi oleh Empu Baradah.
Empu Baradah (Bharadha) tidak tinggal di Istana Raja Erlangga, dia adalah seorang petapa yang tinggal di dusun Lemah Tulis. Nah, oleh Pramoedya Ananta Toer, sebagai penggubah Cerita Calon Arang, Lemah Tulis dalam cerita dongeng Calon Arang adalah Blora Saat ini. Berdasarkan penyampaian Pramoedya Ananta Toer, Petilasan Empu Baradah adai di Wurare sesuai dengan tempat pemasangan arca raja Kertanegara.
Penyebutan Wurare berasal dari akar kata bhu yang berarti tanah, sedangkan rare berarti anak. Maka lambat laun juga disebut dengan Lemah-Putra. Seiring berjalannya waktu, pengucapan putra berubah menjadi patra yang bersinonim dengan tulis, surat, dan citra. Dalam cerita Calon Arang di atas, Empu Baradah tinggal di dusun lemahtulis.
Semntra itu, penyebutan Wurare bentuk asalnya adalah Wurara, oleh masyarakat yang masih awam budaya literas di zaman itu, istiah Wurare lembat laun berevolusi penyebutannya menjadi Wrura, kemudian menjadi Wlura, lambat laun menjadi Blura. Hingga kini, nama tersebut menjadi Blora.
Blora alias Lemah-Tulis tempat tinggal Empu Baradah di zaman Erlangga yang berkuasa sejak 1019 sampai 1043 Masehi.
Demikian asal-usul nama Blora ditilik dari Cerita Rakyat Dongeng Nyi Calon Arang.